Jadi Polisi? Siapa Mau?
polisiSaya selalu ingin berperan menjadi maling (pencuri), begitu juga anak-anak lelaki lainnya. Berlari, dikejar oleh seorang yang menjadi polisi menghasilkan energi luar biasa selain juga memberikan keceriaan tersendiri. Bayangkan, saya seringkali meledek sang polisi jika ia tidak mampu mengejar apalagi menangkap maling ini. Ada yang bilang, adalah wajar jika maling tidak tertangkap oleh polisi karena dalam permainan itu, maling selalu berlari lebih dulu beberapa meter dari polisi, sementara usia dan tinggi badan serta panjang kaki kami hampir sama persis. Namun saya sedikit membantah dengan dua alasan, pertama, maling dan polisi punya semangat yang berbeda, kedua tidak semua anak berlari sama cepatnya.
Terbukti, untuk beberapa kali permainan dimana saya selalu berharap untuk menjadi maling, saya pun tertangkap. Walaupun, dalam banyak kesempatan, saya selalu bangga karena sang polisi sudah seringkali kelelahan dan menyerah. Kalau sudah demikian, berakhirlah permainan. Si maling dan polisi pun berteman lagi dan mencari permainan baru. Tetapi jika saat kebetulan yang menjadi polisi ini seorang teman yang memang punya kecepatan berlari, sudah bisa dipastikan ia bisa menangkap maling. Atau paling tidak, para polisi itu berharap malingnya jatuh dan menyerah, sehingga dengan mudah ditangkap polisi.
Sahabat, baru saja saya menceritakan sebuah permainan masa kecil yang tidak pernah hilang dalam ingatan ini, mungkin juga teman-teman saya yang lainnya, termasuk sang polisi. Jelas ada alasan mengapa saya tidak bisa melupakan keceriaan permainan-permainan masa kecil itu, bukan karena saat ini saya sudah sangat jarang mendapati anak-anak bermain peran yang sama.
Berperan menjadi maling dan polisi, sebenarnya bukan sekedar bermain –meski dulu sewaktu memainkannya, saya tidak berpikir jauh selain kesenangan belaka- karena ada hal penting yang semestinya menjadi pelajaran dalam setiap aktifitas kita. Kalau mau ditelaah lebih jauh, hampir semua permainan masa kecil kita itu penuh dengan hikmah dan pelajaran. Semestinya, orang tualah yang berperan untuk menerangkan pelajaran dari setiap permainan, ini penting untuk menyadarkan anak bahwa di dalam permainan juga mengandung fungsi edukasi selain entertainment.
Dalam permainan ini misalnya, meski diwarnai dengan gelak tawa dan cemoohan ketika sang polisi tak mampu menangkap maling, Anda bisa membayangkan betapa anak-anak memiliki kesungguhan yang luar biasa pada saat melakukan permainan ini. Perhatikanlah mereka saat berlari, keduanya (maling dan polisi) memiliki energi tambahan dan semangat yang luar biasa. Yang satu didorong oleh ‘tekanan’ dari belakang untuk terus dan terus berlari secepat-cepatnya, sementara yang satu lagi memiliki semangat yang menggebu dan motivasi yang tinggi untuk mengejar, menangkap bahkan menaklukkan lawannya. Anda bisa melihat kesungguhan mereka dari kuatnya otot-otot kaki dan tangan mereka saat berlari, juga urat di leher yang menonjol bahkan tatatapan mata yang fokus ke depan.
Buat si maling, ia tentu akan dianggap lebih cerdik atau mungkin cerdas karena ia memiliki pandangan ke depan yang fokus sementara ia juga harus berfikir cepat bagaimana mengakali (baca: mengelabui) agar ia tak tertangkap. Ia juga harus berpikir cepat untuk mengambil langkah ataupun arah yang tepat di jalan-jalan yang tepat pula. Sedangkan sang polisi, bisa jadi tak kalah cerdik dan cerdasnya. Yang pasti, ia adalah type orang yang sangat sabar, pandangannya lebih tajam mengarah kepada tujuan dan ia biasanya termasuk orang-orang yang tak kenal menyerah.
Peran keduanya sungguh menarik, ada anak-anak yang selalu ingin berperan menjadi maling, ada juga yang inginnya menjadi polisi. Jangan pernah mengarahkan mereka untuk menjadi apapun, tapi arahkan mereka saat menjadi apapun. Anak-anak, seperti kita, mereka mempunyai dunianya sendiri, memiliki kecenderungan sendiri terhadap apapun. Cara berpikir anak-anak tentu berbeda dengan orangtua, maka itu jangan pernah memaksakan cara berpikir orang tua terhadap anak-anak, karena itu sama halnya dengan membunuh motivasi dan kreatifitas mereka.
Ada yang unik dari permainan Maling dan Polisi, saat si maling terjatuh dan mengaduh kesakitan karena kakinya berdarah, semestinya sang polisi senang dan tertawa karena dengan tidak susah payah ia akan menangkapnya. Tapi, apa yang dilakukan sang polisi? Kita semua tahu bahwa sang polisi justru akan berpura-pura jatuh dan ikut memegang-megang kakinya (biasanya di posisi sakit yang sama dengan temannya) yang tak sakit, juga ikut mengaduh kesakitan. Daniel Goleman dalam Emotional Intellegent menyebut perilaku demikian sebagai empati, salah satu ciri kecerdasan emosi. Sungguh, anak-anak kerap menjadi contoh terbaik bagaimana orang-orang tua perlu mengasah kembali kecerdasan emosinya, yang ternyata, jauh lebih menentukan kesuksesan seseorang ketimbang IQ (Intellegent Quotion).
Sahabat, ada yang ingin saya ungkapkan berkenaan dengan permainan ini. Suatu ketika saya merasa harus bertukar peran dengan teman yang selalu menjadi polisi, namun sebelumnya saya bertanya kepadanya, “Kenapa kamu selalu ingin menjadi polisi?” Mau tahu apa jawabnya? Dengan tersenyum penuh kebanggaan dia berkata, “Karena kamu selalu ingin jadi maling”.
Seketika saya jadi sangat iri kepadanya, benar-benar ia anak yang cerdas secara emosi dan tak egois. Banyak anak yang mau menjadi maling, tapi kalau ia ikut-ikutan menjadi maling, lalu siapa yang jadi polisi? Takkan pernah ada-lah permainan tersebut. Tapi ah, dasar anak-anak, menjadi apapun mereka tetap riang dan senang hati melakoninya. Perlu diketahui, kesenangan itu akan terasa lebih sempurna lagi di akhir permainan, siapapun yang berhasil unggul dalam permainan itu, apakah si polisi yang berhasil menangkap maling atau si maling yang tak terkejar, akan mendapatkan semacam ‘applaus’, sorakan kekaguman dan perhatian lebih dari anak-anak perempuan yang tak ikut bermain, tapi memperhatikan permainan ini. Bisa jadi, ini juga salah satu pemicu semangat … (Bayu Gautama, to “sang polisi”)